Sabtu, 23 Agustus 2014

BAB II Niat dan Motivasi Dalam Akad

Niat dan motivasi dalam suatu perbuatan memegang peranan penting dalam menentukan status hukum, apakah perbuatan tersebut benar atau tidak dalam kaca mata syariah. Jika suatu perbuatan dilakukan dengan niat yang tidak dibenarkan oleh allah SWT, maka perbuatan itu dinilai tidak benar dalam hukum islam dan otomatis tidak akan menghasilkan pahala, bahkan dihitung sebagai kejahatan dan perbuatan dosa. Mereka telah meneliti banyak perbuatan yang berkaitan dengan berbagai bidang Fiqh seperti ibadah, hubungan keluarga, akad dan transaksi bisnis, serta bidang fiqh lainnya. Mereka juga telah menentukan status posisi hukum berdasarkan tujuan dan niatnya.

Imam Ibn al- Qayyim (wafat 476 H / 1084 M), seorang ulama mazhab Hambali yang terkemuka menulis:
Dalil - dalil dan aturan - aturan syariah mengatakan bahwa niat diperhitungkan dalam akad. Niat - niat ini mempengaruhi sah atau tidak sahnya, dan boleh atau tidak bolehnya suatu akad.

Imam Ibn Hazm (wafat 456 H / 1064 M) telah menekankan juga pentingnya niat dalam perbuatan hukum. Beliau menyatakan bahwa, "jika seseorang menjual anggur kepada seseorang yang sudah jelas akan mengekstrak tuak dari anggur itu, atau menjual senjata kepada pihak yang sudah jelas akan menggunakanya memerangi kaum muslimin, maka jual beli seperti itu tidak sah, karena allah berfirman: "…dan tolong menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran… (Qs 5:2)".

Ulama terkemuka lainnya, Imam Syatibi (wafat 790 H / 1388 M) juga telah menggaris bawahi pentingnya tujuan dan niat dalam menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkara. Beliau mengatakan :

Amal perbuatan ditimbang dari niatnya, dan tujuan dari suatu perbuatan diperhitungkan dalam sifatnya seperti perbuatan ritual atau perbuatan dagang. … tujuan dan motivasi membuat perbedaan antara perbuatan ritual dengan perbuatan dagang (dalam hal sifat akad dan karakternya). Niat dan tujuan itu juga menentukan keabsahan suatu perbuatan. Sehingga tujuan akhir dari suatu perbuatan diharamkan, perbuatan itu juga diharamkan. Misalnya ketika jual beli dimaksudkan sebgai sarana menuju Riba, maka jual beli seperti itu tidak sah. Teoriniat ini termaktub dalam sejumlah kaidah. Berikut akan dibahas beberapa kaidah dan penerapanya dalam kontrak dan transaksi.

Peranan Niat dalam Perbuatan Hukum
Dasar Bukti
Kaidah ini didasrkan pada hadist yang sangat terkenal dari Rasulullah SAW yang mengatakan : "Innamal A'malu bin niyyat. Arti hadist itu, bahwa balasan terhadap suatu perbuatan tergantung pada niat melakukan perbuatan tersebut. Jadi suatu perbuatan layak mendapat imbalan hanya ketika perbuatan tersebut dilakukan dengan niat yang baik.

Arti Kaidah
Kaidah ini menganjurkan bahwa ketika menilai keabsahan dan akibat hukum suatu perbuatan, niat melakukan perbuatan itu harus diperhitungkan, di samping aspek yang kelihatan dari perbuatan itu. Jadi, ketika seseorang menemukan barang orang lain tercecer dijalan dan mengambilnya, yang kemudian barang itu hilang atau rusak di tangannya, maka kewajiban mengganti barang itu tergantung pada niat mengambilnya. Jika diniatkan untuk diserahkan kepada yang punya, dan supaya orang lain tahu, maka dia dianggap amanah dan tidak diharuskan untuk membayar ganti rugi. Tapi, jika niatnya untuk memiliki barang tersebut, maka dia diharuskan untuk membayar ganti rugi kepada pemilik. Contoh diatas menunjukan bahwa krena niat, status orang yang menemukan barang dipinggir jalan tadi berubah dari orang yang dipercaya (amanah) menjadi pencuri.

Perlu diketahui bahwa Allah telah menetapkan tujuan melembagakan pernikahan adalah untuk kehidupan bersama selamanya. Sama halnya dengan penjualan senjata kepada penjahat yang sewaktu - waktu dapat menggunakannya untuk membunuh orang yang tidak bersalah, atau menggunakannya dalam keadaan chaos  (kerusakan), adalah tidak sah jika penjual mengetahui untuk apa senjata itu dipergunakan dengan analogi yang sama, ulama Fiqh telah berpandangan bahwa suatu hadiah dari harta yang wajib dizakati untuk menghindarkan kewajiban membayar zakat adalah tidak sah. Contohnya,  seseorang memberikan hadiah berupa harta yang wajib dizakati kepada orang lain menjelang jatuhnya nisab zakat (satu tahun), dengan niat untuk mengambilnya kembali nanti, supaya terhindar dari kewajiban membayar zakat. Hadiah semacam itu tidak sah.

Jika niat pihak - pihak yang melakukan akad tidak selaras dengan niat Allah. Maka akadnya menjadi tidak sah. Alasannya, karena Allah mempunyai maksud dan tujuan dalam setiap akad atau tindakan. Jika pihak - pihak yang melakukan akad memiliki niat yang sama dengan Allah, maka akad tersebut sah.

Peranan Niat atau Kontrak
Niat dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu akad, disamping menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak sahnya suatu perbuatan. Sehingga, ketika suatu hadiah atau donasi yang diberikan bertentangan dengan beberapa ketentuan, maka akad itu akan berubah menjadi akad jual beli dan bukan lagi akad hadiah walaupun namanya hadiah atau donasi. Begitu juga dengan akad hawalah (pendelegasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memiliki kewajiban untuk melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinnya, maka akad tersebut jatuh pada akad kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama halnya dalam kerjasama mudharabah, jika ada ketentuan yang menyatakan bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keuntungannya, maka akad itu tidak disebut mudharabah, tapi akad hutang.

Status Giro (Current Deposit)
Contoh lain yang menunjukan bahwa sifat yang sebenarnyadari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud kontrak tersebut adalah giro dibank komersial. Ulama kontenforer lebih memperlakukan giro sebagai suatu kontrak hutang dari pada kontrak wadiah atau amanah. Alasannya, giro tidak sesuai dengan sifat - sifat wadiah itu sendiri.

Wadiah dalam hukum islam adalah suatu amanah / titipan ditangan orang yang dipercaya dengan tujuan keamanan; yang tidak dibatasi oleh suatu kewajiban. Sehingga, kalau barang yang dititipkan itu rusak bukan karena kecerobohan orang yang diberi amanah, maka dia tidak punya kewajiban menggantinnya. Pemberi amanah sendiri yang menanggung resiko rugi.

Ciri lain dari wadiah adalah barang yang diwadiahkan (dititipkan) tidak dapat digunakan oleh orang yang diberi amanah menjaganya. Dia diwajibkan mengembalikan barang yang sama dengan yang disimpan oleh pemiliknya. Wadiah merupakan akad yang tidak mengingat dan mendapat dihentikan. Dimungkinkan bagi dua pihak untuk menyudahi akad wadiah dengan cara memberitahukan pemberhentian akad kepada pihak lain.

Secara prinsip pemegang amanah tidak boleh menggunakan barang wadiah tersebut. Tapi, jika dia menggunakannya dengan seizing yang punya, makadalam pandangan ulama Fiqh, akad tersebut bukan lagi disebut sebagai akad wadiah. Sebagai gantinya, akad tersebut dapat dikonversi apakah menjadi akad hutang, akad agensi, atau akad kerjasama. Imam Kasani telah membahas ketiga kemungkinan ini. Beliau menulis:

"jika barang yang disimpan dalam bentuk uang, dan pemegang amanah menggunakannya , maka wadiah berganti menjadi transaksi hutang.  Tapi jika dia mengijinkan untuk menggunakan uang itu dengan basis kontrak bagi hasil, maka kontrak tersebut akan dikonversi menjadi kontrak mudarabah.

Beberapa hal yang berbeda dengan prinsip wadiah adalah sebagai berikut :

Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan, yang tidak diperbolehkan dalam kasus wadiah.
Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu dengan tabungan yang lain.
Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya dengan aman. Dengan kata lain, bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait dengan uang yang dititipkan.
Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama, tetapi uang lain dalam jumlah yang sama.
Penting untuk diketahui bahwa sebagian besar hukum perdata Negara - Negara muslim mengkategorikan simpanan bank sebagai simpanan dengan kewenangan untuk menggunakannya seperti kontrak hutang. Undang - undang Nomor 726 dari hukum perdata mesir menyatakan :
" jika suatu simpanan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dikonsumsi, dan yang punya mengizinkan penyimpan utuk menggunakannya, maka akad itu akan diperlakukan sebagai akad hutang.

Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi hutang dan penghutang antara nasabah dan bank, maka tidak dibolehkan bagi bank untuk memberikan layanan ekstra kepada nasabah, karena hal itu dihitung sebagai Riba. Layanan ekstra itu pada hakekatnya member manfaat kepada kreditor (dalam hal ini nasabah) terhadap rekeningnya.  Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal: setiap hutang yang memberikan manfaat adalah riba. Artinya jika bank yang berperan sebagai penghutang dalam kasus akad giro menambahkan manfaat kepada nasabah penyimpan, pada hakekatnya bank telah memberikan sesuatu yang melebihi jumlah pokok simpanan nasabah, yang sudah tentu merupakan suatu bentuk Riba. Dalam konteks transaksi hutang, uang jasa yang diberikan kepada pemberi hutang dapat membuka pintu untuk Riba. Jadi, atas dasar prinsip sad al- Dara'I (menutup segala cara yang membuka pintu kemungkaran), hal ini harus dihindari.

Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan
1. bay' al - Inah
Bay' al- Inah adalah menjual barang secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah dari harga kredit, dimana kedua transaksi terjadi pada waktu yang bersamaan.

Sebagai contoh, si A menjual suatu komoditi kepada si B dengan harga Rp. 150.000/- secara kredit selama satu tahun. Kemudian, si A membeli komoditi itu kembali dengan harga Rp. 120.000/- dari si B dengan pembayaran kontan. Dalam kasus ini, si A adalah pemberi piutang dan si B adalah penghutang. Si A telah mendapatkan keuntungan Rp. 30.000/- dari transaksi tersebut. Bentuk lain dari Bay'- Inah adalah menjual komoditi secara kontan dan kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi yang harus dibayar pada waktu tertentu dimasa yang akan datang. Jadi, transaksi tersebut termasuk transaksi hutang dengan jaminan barang tadi. Perbedaan antara kedua harga merupakan representasi dari bunga (interest). Hal itu disebut Inah sebab 'Ayn (substansi) dalam kasus ini kembali kepada pemiliknya. Pembiayaan dengan menggunakan skim pembelian kembali (buy back arrangement, atau biasa disingkat BBA) di bank syariah Malaysia mirip seperti ini.

Bentuk transaksi ini, dalam pandangan mereka, tidak lebih adalah suatu mekanisme hukum yang bertujuan menghilangkan hambatan - hambatan yang disebabkan oleh larangan Riba. Ulama  ini mendasarkan larangan transaksi ini dari hadistyang diriwayatkan oleh Aisyah (RA) ketika Umm Mahabbah memberitahukan beliau bahwa dia memiliki Budak Sahaya permpuan yang dijual nya secara kredit kepada Zayd ibn Arqam seharga 800 dirham. Zayd segera memutuskan untuk menjual budak itu kepada Umm Mahabbah membeli kembali budak perempuan tersebut seharga 600 dirham kontan Aisyah (RA) mengatakan apa yang engkau jual adalah buruk, dan buruk pula apa yang engkau beli.

2. tawarruq
Tawarruq adalah suatu transaksi dimana seorang yangmembutuhkan uang membeli suatu barang secara kredit dari orang tertentu dan kemudian menjualnya kepasar secara kontan dengan harga dibawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang. Transaksi itu dinamakan Tawarruq, sebab tujuan dari transaksi ini adalah untuk memperoleh wariq (perak) yaitu uang atau pembiayaan oleh orang yang membutuhkan. Misalnya si A. membutuhkan uang Rp. 3.000.000/- dia mendekati si B. dengan permohonan untuk  menjual suatu barang kepadanya secara kredit. Si B. kemudian menjual kepada si A. satu set komputer yang harganya hanya Rp. 3.000.000/- seharga Rp.4.500.000/- secara kredit selama 2 tahun. Lalu si A. pergi ke pasar dan menjual komputer itu dengan harga Rp. 3.000.000/-.

Meskipun demikian, mereka meletakkan beberapa syarat untuk keabsahan tawarruq, yaitu:
Ada kebutuhan yang Riil untuk bertransaksi. Orang yang melakukan tawarruq memerlukan uang, sementara, dia tidak mampu mendapatkan pinjaman hutang dari siapapun. Tetapi, jika dia berhasil mendapat pinjaman hutang, maka dia tidak diperbolehkan melakukan tawarruq.
Kontrak tawarruq dalam bentuknya, harus berbeda dengan kontrak Riba. Kontrak riba terjadi jika penjual menyebutkan bahwa dia menjual barang yang harga rillnya Rp. 150.000/- dengan harga Rp. 1.800.000/-, karena ini termasuk pertukaran uang dengan uang disertai kelebihan yang berlipat - lipat meskipun demikian, hal ini dibolehkan jika si pemberi piutang menjelaskan kepada orang yang mau berhutang harga rill barang itu dan keuntungannya yang diambilnya.
Si penghutang (pembeli barang) tidak seharusnya menjual barang tersebut sebelum memilikinya.
Barang tersebut tidak seharusnya dijual kepada orang yang sama (si penjual) dengan harga lebih murah.
The Fiqh Academy Liga Dunia Muslim  dalam pertemuannya yang ke 15 telah membolehkan tawarruq dengan syarat - syarattertentu seperti diatas. Kemudian, ditinjau lagi pada pertemuan ke 17 dan mengumumkan bahwa praktek tawarruq oleh bank syariah tidak sah.

Prosedur transaksi tawarruq pada bank syariah adalah sebagai berikut:

Pihak bank menyediakan suatu barang dari pasar internasional untuk kliennya dan kemudian menjualnya dengan kredit. Pihak bank setuju dengan kliennya bahwa si klien akan menjual kepasar. Hal ini dapat di ilustrasikan sebagai berikut:

Si A (klien) mendekati si B (bank) dengan permohonan untuk meminjam uang sebesar Rp. 1.500.000/-. Si B. membeli suatu barang seharga Rp. 1.500.000/- dari si C (dealer) secara kontan dan menjualnya ke si a dengan harga rp. 1.800.000 secara kredit selama satu tahun. Si B kemudian kapasitasnya sebagai agen si A,menjualnya kepada si C dengan harga Rp. 1. 500.000/- kontan dan menyerahkan Rp. 1.500.000 ke sisi A.

Perlu dicatat bahwa Hongkong Shanghai Bank Company (HSBC) dan banyak bank lainnya , menggunakan Tawarruq ini sebagai skim pembiayaan perorangan.

3. By' Bil Wafa
Ini merupakan transaksi dimaa seseorang yang membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli, dengan syarat kapan saja si penjual mau, maka si pembeli tadi harus mengembalikan barang yang dibeli kepadanya dengan harga pembelian semula. Alasan menggolongkannya sebagai wafa adalah karena janji (dari sipenjual) untuk mengambil barang yang dibeli dari pembeli dengan meyerahkan kembali harga pembelian semula. Seperti Bay' Inah, ini juga suatu mekanisme yang hukumnya riba.

Bay' bil wafa dalam sifat dan substasinya adalah Rahn (pegadaian). Allamah Khairuddin Ramli dalam Fatawah Khayriyyah mengklaim bahwa mayoritas ulama mengatakan Bay bil wafa adalah suatu bentuk dari pegadaian namun transaksi ini membawa banyak mudarat. Itu hanya suatu bentuk tipuan hukum (hilah) untuk menghindari riba.

Hiyal: alat/ strategi Hukum
"Setiap alat atau strategi hukum yang menghilangkan hak atau menguatkan yang salah adalah haram".

Hilah secara bahasa diartikan trik, alat, dan strategi. Secara teknik, hilah digambarkan sebagai penggunaan sarana hukum (apakah mereka sendiri legal atau tidak)untuk tujuan yang ekstra legal yang tidak dapat dicapai langsung oleh cara - cara yang disediakan oleh syariah. Misalnya hukum islam dalam pertukaran gandum mensyaratkan gandum di kedua belah pihak harus sama jumlahnya. Sekarang, jika seseorang ingin menukar gandum yang kualitasnya jelek dengan yang kualitasnya bagus, maka menurut hukum tadi, dia harus mengindahkan perbedaan kualitas tersebut dan menukarnya dengan dasar berat gandumnya mesti sama.

Solusi terhadap masalah ini adalah menjual gandum yang kualitasnya jelek tersebut kepasar dan membeli gandum yang kualitasnya bagus. Dengan cara ini, kedua belah pihak dapat mengatasi kesulitan tanpa melenceng dari isi undang - undang hukum islam.contoh lain dari Hilah aturan yang mengatakan bahwa ketika seorang petani menjual sebidang lahan, tetangganya telah menolak untuk membeli tanah yang berbatasan dengan tanahnya. Meskipun demikian, aturan penolakan ini hanya menitik beratkan pada penjualan lahan, bukan pemberian hadiah.

Suatu Hilah yang terlibat dalam transaksi hutang pada umumnya dikategorikan sebagai hilah yang diharamkan sebab diniatkan untuk memberikan manfaat tambahan kepada pemberi hutang. Buy - back arrangement dan penjualan dengan hak penebusan, jatuh dalam kategori ini. Kaidah yang terkenal mengatakan: "Suatu hilah yang terlibat dalam transaksi hutang adalah suatu hilah atas Riba. Beberapa contoh Hiyal dalam transaksi hutang dalah sebagai berikut: menggadaikan rumah kepada pemberi hutang dan membolehkannya untuk tinggal di dalamnya; menjual suatu barang kepada orang yang akan berhutang dengan harga yang tinggi dan kemudian segera meminjamkannya beberapa uang, atau membeli darinya beberapa komoditi dengan harga yang rendah, atau menyewakannya suatu asset dengan harga yanglebih tinggi dari harga sewa dipasar. Dalam contoh lain peminjam yang memiliki harta tertentu, menjual harta tersebut kepada pihak yang meminjamkan, menyewakannya kembali, membayar sewanya dan kemudianmeminta haknya untuk membeli kembali harta itu dengan harga asal yang dijualnya.

Hiyal merupakan suatu hal yang dibolehkan dan sah, namun digunakan untuk menyalahi untuk menghilangkan aturan syariah dan orang yang mempraktikkan hilah berniat untuk melanggar kemauan Allah.

Imam Ibn al- Qayyim dalam I'Iam al- Muwaqqi in telah membahas dengan rinci persoalan hiyal dan menjelaskan kenapa syariah tidak membolehkan Hiyal. Beliau menulis: "Niat adalah esensi dari setiap perbuatan hukum. Suatu perbuatan mengikuti niatnya. Jika niat itu sah, maka perbuatan itu sah. Dan jika niatnya haram, maka perbuatannya akan bata. Jadi, jika seseorang melakukan transaksi jual - beli tersebut akan diperlakukan sebagai Riba. Bentuk fisik dari akad itu tidak akan membuatnya sebagai transaksi jual - beli".
Ibn Qayyim menganggap hiyal tidak selaras dengan semangat syariah. Beliau membandingkan hilah dengan Sadd al- Darra I (mencegah cara - cara yang mengarah pada perbuatan haram) dan menyimpulkan bahwa doktrin hiyal memiliki perbedaan yang tajam dengan sad al- Darra'I bermaksud menutup cara - cara untuk hasil akhir yang diharamkan tersebut.

Ibn al- Qayyim mengutip hadist dimana Rasulullah SAW melaknat Yahudi yang melanggar larangan lemak binatan. Hadist tersebut berbunyi: "esemoga Allah melaknat Yahudi, ketika Allah mengumumkan lemak dari binatang tertentu haram, mereka meleburkannya dan menikmati harga yang mereka terima. Lemak binatang diharamkan untuk Yahudi. Ibn al- Qayyim setelah mengutip hadist dia atas menulis: "Khattabi mengatakan: hadist ini memberikan bukti bahwa suatu hilah menjadi tidak sah ketika hal itu mengarah pada perbuatan yang dilarang. Hanya dengan merubah bentuk dan namanya tidak akan merubah hukum dan akibatnya, jika tidak berubah substasinya.

Sadd al- Darra'I: Mencegah atau menutup proses yang tujuannya Haram

Yang sangat dekat hubungannya dengan hiyal adalah Sadd al- Dara'I (menutup segala cara). Dimana cara itu menimbulkan mudarat atau hasil akhir yang diharamkan. Meskipun cara itu sah., dianggap haram. Imam Syatibi telah menggambarkan Sadd al- Darra'I sebagai penggunaan suatu benda yang mempunyai manfaat (maslahah), yang dijadikan alat untuk merealisasika beberapa hasil akhir yang diharamkan atau untuk melakukan kemungkaran (mafsadah). Ulama maliki lainnya, Qarafi mendefinisikannya sebagai berikut: "Sadd Al- Darra'I adalah upaya untuk menghapus cara - cara yang digunakan sebagai sarana kejahatan. Jika suatu perbuatan bebas korupsi digunakan sebagai sarana untuk korupsi, Imam Maliq melarang perbuatan itu dalam banyak kasus. . dari sini dapat disimpulkanbahwa Sadd Al- Darra'I merupakan suatu perbuatan baik yang bermanfaat yang kemungkinan besar menimbulkan kemungkaran yang sama dengan manfaatnya.

Syarat - syarat Sadd Al- Darra'IÂ

Berikut ini adalah syarat - syarat penting untuk melakukan Sadd al- Darra'I:
Perbuatan Halal dijadikan sarana untuk sebuah kemungkaran. Perbuatan halal adalah perbuatan yang mengandung manfaat (maslahat). Oleh karena itu, perbuatan ini tidak dapat dilarang, selama menghasilkan manfaat dan tidak menimbulkan mudarat yang menghilangkan manfaat tersebut. Tapi, jika perbuatan ini digunakan sebagai sarana menuju kemudaratan, Allah melarangnya.
Kemungkaran, dimana perbuatan yang halal digunakan sebagai sarananya, harus sama atau lebih berat dari manfaat (maslahat) perbuatan itu.
Bahwa perbuatan itu harus sangat sering menimbulkan mudarat.
Dasar Dalil

Doktrin Sadd al- Darra'I memiliki akar dari Qu'ran dan Sunnah. Al- Qur'an misalnya, melarang seorang muslim menghina penyembah berhala dengan mengatakan: dan jaganlah kamu memaki sembahan - sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan "(QS 6: 108). Disini, cara menuju kemungkaran ditutup dengan melarang memaki sembahan - sembahan selain Allah, suatu aturan yang diijinkan dan bahkan ternilai terpuji karena itu merupakan cara mengecam kesalahan dan menguatkan iman orang - orang yang beriman. Perlu dicatat bahwa larangan dalam contoh di atas didasarkan pada kemugkinan bahwa mereka akan memaki Allah sebagai balasannya. Dengan kata lain, balasan yang diperkirakan turut diperhitungkan.

Jenis - jenis Cara

Imam Syatibi telah mebagi cara - cara yang dapat menimbulkan mudarat kedalam empat jenis. Dalam klasifikasi ini, beliau telah meneliti tingkat kemungkinan bahwa suatu cara diperkirakan akan menimbulkan mudarat.

Cara upaya dan upaya yang sudah barang tentu menimbulkan mudarat seperti menggali sebuah lobang tepat didepan pintu gerbang suatu bangunan public yang tidak kelihatan di malam hari.
Cara dan upaya yang berpeluang besar menimbulkan mudarat dan jarang sekali membawa manfaat seperti menjual senjata ketika perang atau menjual anggur untuk dibuat minuman memabukkan. Cara - cara ini juga dilarang.
Cara dan upaya yang sering menimbulkan mudarat tapi tidak ada kepastian Atau tidak ada peluang besar bahwa kasus ini sering terjadi.seperti Buy Back Arrangement yang digunakan untuk menghindari Riba.
Cara dan upaya yang jarang sekali menimbulkan mudarat, seperti menggali sumur ditempat yang sedikit kemungkinannya membuat bahaya terhadap orang lain, ataupun menanam anggur.
Imam Ibn Al- Qayyim, misalnya, menganggap larangan Riba al- Fadl sebagai akibat dari prinsip Sadd al- Darra'I. dalam analisis beliau, Riba Al- Fadl telah dilarang oleh upaya Sadd al- Darra'I (yaitu menutup segala kemungkinan yang dapat menimbulkan hasil yang diharamkan), karena jika seseorang mematok suatu tambahan yang berlipat - lipat dalam transaksi kontan, maka orang itu kemungkinan besar akan mematok tambahan pula dalam transaksi kredit. Jadi, riba al- Fadl membuka jalan untuk riba nasiah yang benar - benar merupakan riba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar