Sabtu, 23 Agustus 2014

BAB I Pengantar Kaidah dan Fiqih

Sifat Dasar dan Fungsi
Qawaid fiqhiyyah (kaidah - kaidah fiqih) atau kaidah - kaidah hukum islam menempati posisi yang sangat penting dalam literatur hukum islam. Ia merupakan bentuk khusus literatur hukum yang berkembang pada abad ke 13 hingga abad ke 15, yang mencoba meringkas aturan - aturan dari setiap mazhab ke dalam ringkasan - ringkasan pendek sehingga orang yang mempelajari kaidah - kaidah ini dapat dengan mudah menghafalnya. Dalam bentuk yang ekstrim, begitu ringkasnya, satu mazhab dapat direduksi menjadi empat atau lima pernyataan padat.

Kaidah - kaidah ini merupakan ketetapan - ketetapan hukum yang umum, dimana ulama terdahulu melakukan satu proses induksi dari banyak ketentuan fiqh sebagai generalisasi hukum. Para ulama memandangnya sebagai karakteristik fiqih yang sistematis dan sudah menjadi bawaan lahir yang sulit diubah tanpa mengganti keseluruhan strukturnya. Kaidah - kaidah hukum islam adalah pernyataan - pernyataan yang dirumuskan dalam bentuk hukum yang akurat yang mengilustrasikan gambaran umum dari sifat, semangat, filsafat dan tujuan hukum islam. Ilmu ini berlandaskan pada ketentuan - ketentuan fiqh yang terkait dengan topik - topik berbeda, yang dijabarkan kepada bab - bab berbeda. Qawaid fiqhiyyah mengelompokkan ketentuan - ketentuan ini kedalam suatu tema khusus. Satu kaidah hukum mewakili satu aturan atau prinsip umum yang melingkup sejumlah besar hukum - hukum fiqh yang terkaid dengan satu tema tertentu. Syekh Mustafa Ahmed Zarqa "seorang seorang ulama fiqh terkemuka mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai : "Prinsip - prinsip fiqh universal yang dirumuskan kedalam bentuk hukum yang padat, melambangkan ketentuan - ketentuan umum terhadap kasus - kasus yang berada di bawah topik - topik tertentu. Ali Hayder, seorang yang terkenal karena uraiannya (syarahnya) terhadap almajallah telah mendefinisikannya sebagai: aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan untuk mengetahui hal - hal khusus. Salim Rustum Baz, pensyarah majallah lainnya telah mendefinisikannya sebagai : aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau sebagian besar kasus - kasus khusus.

Muhammad Anis Ubadah menawarkan bahwa : Qawaid fiqhiyyah adalah konsep universal dimana ketetapan - ketetapan dari berbagai perkara hukum yang berada di bawah konsep universal tersebut dapat diturunkan. Penulis kontemporer lainnya mendefinisikan Qawaid Fiqhiyyah sebagai suatu prinsip umum dimana ketentuan - ketentuan khusus langsung dapat diketahui.
Ada perbedaan pendapat di kalangan para penulis, apakah Qawaid fiqhiyyah ini merupakan ilmu yang menyeluruh (kulli) atau ilmu yang utama (aghlabi). Mustafa Ahmed Zarqa memandang bahwa Qawaid Fiqyyah merupakan aturan yang menyeluruh mencakup seluruh ketetapan - ketetapan hukum yang relevan dari hukum islam. sementara Hamawi dan Ali ahmad an- nadawi serta banyak ulama lainnya beranggapan bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan - aturan yang utama. Jadi para ulama mendeskripsikan qawaid fiqhiyyah sebagai aturan - aturan umum dari hukum islam yang mencakup sebagian besar ketetapan - ketetapan hukum islam. Hamawi berusaha mencari kontroversi Universalitas kaidah - kaidah fiqh. Beliau menjelaskan bahwa arti Qawaid berbeda dalam pandangan ahli struktur bahasa dan ahli teori hukum. Bagi para ahli fiqh, qawaid merupakan suatu konsep mayoritas (aktari) dari pada menyeluruh (kulli) yang diterapkan di hampir semua perkara untuk mengekstrapolasi ketetapan - ketetapan hukum. Universalitas, bermakna bukan tidak ada pengecualian terhadap suatu kaidah. Pengecualian terhadap suatu kaidah tetap ada. Logikapun tidak dapat memahami universalitas dalam arti tanpa pengecualian. Ali Ahmad nadawi telah mengamati hal yang sama bahwa suatu pernyataan Universalitas lebih merupakan refleksi keluasan cakupan dari pada totalitas mutlak, karena ada beberapa pengecualian untuk setiap kaidah.

Faktanya, meskipun kaidah - kaidah hukum mengandung banyak sekali ketentuan - ketentuan fiqh, tetap saja tidak menyeluruh dalam penerapannya. Kaidah - kaidah ini mengakui beberapa pengecualian dan batasan. Misalnya, aturan umum dalam hukum islam, penjulan barang yang tidak ada, tidak diperolehkan. Meskipun demikian, kaidah ini tidak berlaku untuk kontrak salam, istisnah dan sejarah, dimana walaupun barangnya tidak ada pada saat kontrak, tetap saja kontrak tersebut masih masih dinyatakan sah.

Fungsi Qawaid Fiqhiyyah

Kaidah - kaidah hukum mempunyai peran utama dalam mengelompokkan fiqh dan menetapkan aturan - aturannya (dalam suatu urutan), dimana keberagaman dan bagian - bagian yang bercerai - berai dalam fiqh disatukan dalam satu konsep. Jadi, fungsi utama dari (ilmu) qawaid fiqhiyyah adalah mengelompokkan dan mengkonsolidasikan ketentuan - ketentuan fiqh yang identikdibawah aturan - aturan yang universal dan menyeluruh. Almajallah telah menjelaskan fungsi ini sebagai berikut:

Ahli - ahli hukum telah mengelompokkan ketentuan - ketentuan fiqh kedalam aturan - aturan universal tertentu. Masing - masing aturan tersebut memuat banyak ketentuan - ketentuan, yang dalam khazanah ilmu hukum islam, diambil sebagai justifikasi untuk membuktikan ketentuan - ketentuan ini. Studi awal tentang qawaid memudahkan untuk memahami ketentuan - ketentuan tersebut. Meskipun sebagian dari kaidah - kaidah itu mengakui beberapa pengecualian, tapi aplikasi umumnya bukan tidak sah, karena mereka berkaitan erat satu sama lain. Kaidah - kaidah hukum memotret suatu gambaran umum tentang dasar, semangat, dan filsafat hukum islam.

umumnya mengekpresikan dan memberitahukan semangat dan fisafat dari hukum islam dan dalam hal ini mirip dengan Maqasid shariah (yaitu tujuan - tujuan syariah yang ditetapkan allah). Kaidah setiap perbuatan ditentukan oleh niatnya, kaidah kesulitan dapat memunculkan kemudahan. Menghilangkan bahaya merupakan filsafat dan tujuan hukum islam. oleh karena itu, aturan - aturan seperti hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu hukum larangan - larangan, dan hak untuk membatalkan kontrak telah disediakan

Status Hukum Qawaid

Qawaid fiqhiyyah pada dasarnya diperuntukan sebagai bantuan - bantuan hukum dan bimbingan interprestasi untuk memahami ketentuan - ketentuan fiqh yang terkandung dalam literatur ilmu hukum. Ia tidak punya kekuatan teks hukum (seperti teks Qur' andan Hadist Rasul SAW). Meskipun demikian, dalam beberapa situasi tertentu, Qawaid Fiqhiyyah dapat dijadikan pedoman oleh ahli hukum dalam mengeluarkan sesuatu fatwa dan oleh pengadilan dalam memutuskan suatu perkara. Beliau menyatakan bahwa suatu keputusan pengadilan dapat dibatalkan jika menyalahi kaidah umum yang berlaku.

Al Hariri, seorang ahli ilmu hukum islam abad modern juga mendukung pendekatan ini, beliau menulis :

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa jika ada dalil yang jelas dari sumber - sumber yang berurusan langsung dengan perkara tertentu, maka penyadaran hukumnya harus dengan dalil - dalil tersebut. Tapi, jika tidak ada dalil apapun dalam perkara perkara itu, tidak ada masalah jika kaidah - kaidah fiqh menjadi dalil dalam perkara itu, asal saja kaidah - kaidah tersebut tidak melenceng dari al-Qur' an , sunah rasul, atau prinsip - prinsip umum dari rukun islam.

Menyadri kenyataan ini, legislatif di Negara - negara Timur Tengah telah memasukkan kaidah - kaidah ini kedalam kumpulan hukum perdata mereka sebagai bagian dari hukum yang berdiri sendiri. Pengadilan di Negara ini memiliki alternatif berupa kaidah - kaidah fiqh terhadap kasus yang tidak ada undang - undangnya secara eksplisit berkenaan dengan kasus yang di perkarakan.

Dari sini dapat dikatakan bahwa, walaupun qawaid fiqhiyyah tidak cukup menjadi sumber - sumber independen dalam dalam melakukan ijtihad atau menetapkan keputusan, perannya tidak hanya bersifat konsultatif seperti yang umumnya diyakini, tapi dalam kasus tertentu dapat digunakan sebagai dalil suatu keputusan. Seorang hakim, ketika memutuskan suatu perkara dapat mendasarkannya pada qawaid disamping memiliki alternative sumber - sumber dan bukti - bukti lainnya. Dia dapat mendasarkan keputusannya pada qawaid tersebut yang diturunkan langsung dari teks Al-Qur' andan Hadist Rasulullah SAW. Jadi, seorang hakim memliki alternative pada qawaid ketka tidak ada bukti langsung terhadap kasus yang diperkarakan.

Perbedaan antara Qaidah Ushuliyyah dengan Qawaid fiqhiyyah

Perbedaan antara Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah adalah, Ushul Fiqh menaruh perhatian utama pada aturan - aturan menterjemahkan teks hukum dan metodologi yang diikuti untuk menurunkan suatu aturan dari teks hukum. Usul fiqh merupakan suatu metode yang diterapkan untuk menurunkan aturan - aturan umum Dari sumber - sumber asli. Misalnya, aturan Amr (Komunikasi dlam bentuk perintah) merupakan kewajiban adalah suatu qaidah ushuliyyah. Semua amalan wajib seperti mendirikan sholat, membayar zakat, dan memenuhi perjanjian, diturunkan dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang status hukumnya wajib dalam islam.

Di sisi lain, qawaid fiqhiyyah diekstrapolasi dari ketentuan - ketentuan fiqh dan menitik berat kan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan mengelomokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan suatu yang membahayakan harus dihilangkan" misalnya, adalah kaidah fiqh yang memasukkan semua ketentuan dalam hukum islam dimana menghapuskan hal - hal yang membahayakan dititik beratkan oleh syariah seperti hukum - hukum yang berkaitan dengan konpensasi terhadap pengurusan harta seseorang, hukum mengganti kerugian, hukum Qisas, hukum pre-emtin (dalam istillah fiqh disebut syuf' ah yaitu hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu), hak membatalkan kontrak dan lain - lain.semua ketentuan ini telah dikelompokkan secara bersama - sama kedalam satu kaidah suatu yang membahayakan harus dihilangkan. Jadi, ilmu QawaidFiqhiyyah bertujuan untuk mengelompokkan hukum dan pasal yang terpisah - pisah ke dalam satu kaidah umum dengan alasan untuk memudahkan pembaca dala memahami fiqh. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjadi aturan - aturan dan hukum - hukum baru seperti halnya kaidah ushulliyyah. Sehingga fokus Dari Qawaid Fiqhiyyah adalah mengumpulkan adalah mengumpulkan pasal - pasal dan hukum yang mirip yang diarahkan oleh sebab - sebab umum.

Perbedaan antara Qawaid dan Dawabit

Dawabit adalah aturan - aturan standar yang menjadi acuan dan ringkasan dari aturan - aturan fiqh pada tema - tema khusus. Suatu Dabithah (bentuk tunggal dari Dawabit) terbatas ruang lingkupnya dan memberikan acuan secara khusus terhadap satu tema atau bab fiqh. Oleh karena itu, Dabithah memfokuskan diri pada topik - topik individual seperti kebersihan, pemeliharaan, kerumahtanggaan,dan pengasuhan anak, yang hal itu tidak dapat diterapkan ke topik lain.

Berikut ini merupakan contoh - contoh dawabit :

Siapapun yang dilarang karena alasan kekerabatan, dilarang dilarang pula dengan alasan.
Setiap kontrak yang dibuat seseorang, dapat diserahkan kepada orang lain melalui konsep agensi (kekuasaan).
Segala sesuatu yang dapat dideskripsikan dengan waktu, dapat merupakan objek dari kontrak salam.
Ketika tingginya air mencapai dua kaki, maka air itu tidak mengandung Najis.
Dapat diamati dari contoh - contoh diatas bahwa Dabithah memfokuskan penerapannya pada topik - topik individual. Sementara Qaidah, adalah satu aturan umum yang diterapkan pada semua spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab fiqh. Kaidah suatu perbuatan dinilai dari niat dibalik perbuatan itu" misalnya, diterapkan pada berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum criminal, dan lain - lain.
Asal dan Sumber Qawaid

Qawaid fiqhiyyah terkait dengan asal dan sumbernya, dapat dikelompokkan kedalam beberapa katagori berikut :

Qawaid yang diturunkan dari teks Al-Qur' andari Hadist Rasulullah SAW. Contohnya, kaidah dasar dari segala perbuatan adalah maksud perbuatan tersebut diturunkan dari hadist yang sangat terkenal : "Innamal A'malu binniyat (yang artinya : Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya). La Darara wa la dirara (yang artinya : suatu yang membahayakan tidak diperbolehkan baik dalam bentuk melakukannya, maupun dalam bentuk menghapusnya dengan bahaya lainnya). Adat kebiasaan merupakan hakim "adat kebiasaan merupakan hakim" diturunkan dari sejumlah teks al- Qur' andan Hadist Nabi SAW seperti QS 2: 228 Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf "(Al- Baqarah: 228). Ayat - ayat al-Qur' anyang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami keadaan sulit (QS. 2:185, dan 22:78).
Qawaid yang aslinya adalah Hadist Rasulullah SAW, namun kemudian lebih di kenal sebagai kaidah - kaidah hukum seperti :
a. Siap menerima untung beratii siap menerima rugi.
b. Suatu yang membahayakan tidak diperbolehkan baik dalam bentuk melakukannya, maupun dalam bentuk menghapusnya dengan bahaya lainnya.
c. hukum Hudud harus dicegah jika terdapat suatu keraguan.
d. setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang meminjamkannya adalah Riba.
e. Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki.
Qawaid yang berasal dari Ushul fiqh tersebar dalam beberapa bab berbeda pada kitab - kitab fiqh. Kaidah - kaidah ini telah dikembangkan oleh para ulama melalui analisis induksi terhadap ketetapan hukum islam.
Qawaid yang berasal dari Ushul Fiqh (yaitu prinsip - prinsip hukum islam) yang Digunakan oleh ulama fiqh untuk menurunkan suatu ketentuan syariah dari al-Qur' andan
Sunnah, beberapa contohnya sebagai berikut.

Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keragu - raguan. Kaidah ini didasarkan pada Istishab, merupakan suatu prinsip yang terkenal dalam hukum islam
"Adat kebiasaan itu merupakan hakim" Kaidah ini dibangun dari prinsip Urf yang merupakan suatu sumber hukum islam
Ijtihad tidak dapat dibatalkan atau digugurkan degan ijtihad serupa, atau "tidak ada Ijtihad yang dibolehkan kalau ada nushush (teks Qur' anatau Hadits yang menjelaskan hukum itu).
kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan peribadi kaidah ini didasrkan pada doktrin Maslahat Mursalah. Qawaid yang didasarkan pada Ushul Fiqh bertujuan untuk Menjelaskan dan mengelaborasi prinsip - prisip ilmu hukum. Mereka Tidak berhubungan langsung dengan ketentuan - ketentuan fiqh.
Sejarah Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah

Menurut sejarah ulama mazhab Hanafi adalah yang pertama mengembangkan cabang ilmu fiqh ini. Imam Abu Tahir Al- Dabbas, seorang ulama fiqh terkenal mazhab Hanafi, dikabarkan sebagai orang yang pertama mengembangkan 17 kaidah yang kemudian ditambahkan oleh Abul Hassan Al- Karkhi (Wafat 340 H) menjadi 39 Kaidah. Setelah karkhi Mazhab Hanafi yang lain, Abu Zaid Ubaidullah al- Dabbusi membuat satu thesis tentang qawaid yang mengandung banyak kaidah fiqh. Pada pertengahan abad ke 12 Hijriyah, ulama Mazhab Hanafi lainnya, Allamah Mohammed Abu Sa'id Khadimi, menulis satu buku tentang Fiqh Hanafi yang berjudul Majami' al-haqaid. Beliau mengumpulkan kurang lebih 154 kaidah - kaidah dalam karyanya tersebut.

Artikel Majallah Al- ahkam al- adliyyah (umumnya disingkat menjadi Majallah), suatu upaya pertama sekali untuk mengkodifikasi hukum islam, dikerjakan antara tahun 1870 - 1876 M di masa pemerintahan khalifah Ottoman Turki, dibawah supervise Ahmed Cevdet Pasha (Wafat 1895 M), yang kemudian menjadi mentri kehakiman.

Upaya berikutnya dilakukan pada tahun 1879 M oleh Mahmud B. Muhammad Nasib Hamza (Wafat 1887 M), Mufti Damascus, sebelum berakhirnya Kekhalifahan Turki. Beliau menyusun kaidah - kaidah menurut judul besar yang ditemukan dalam kitab - kitab fiqh dan member judul iktisarnya Al-Faraid al-Bahiyya fil Qawaid wal Fawa'I Alfiqhiyyah.

Dalam kurun abad ke 8 hingga 14 Masehi, beberapa ulama mulai merujuk pada studi kaidah - kaidah ini sebagai al-asbah wan Nazair (kesamaan dan kemiripan) satu alternative judul yang cocok karena fungsinya untuk mengidentifikasi kasus - kasus yang berupa silogisme (ilmu Logika yang terdiri atas 2 kenyataan yang serasi). Karya pertama yang diterbitkan dengan judul al-Asbah wan Nazair adalah miliknya Taj al-din al-Subki (Wafat 911 H) dan Ibn Nujaym al-Hanafi (Wafat 970 H) dengan judul yang sama.

Di samping ulama mazhab Hanafi, ulama dari mazhab lain juga telah berkontribusi pada bidang Kaidah Kaidah Fih ini. Beberapa karya mereka di antaranya :
Qawaid Al- Ahkam fi Masalih al- Anam oleh Izz al-Din Ibn 'Abd al-Salam (wafat 660 H / 1262 M). karyanya dikenal sebagai al- Qawaid al- Kubra .
Anwar al- Baruq fi anwa' al- furuq, oleh shihabal- Din al- qarafi (wafat 684 H / 1285 M).
Al- Mudhhab fi Dabt Qawa'il al- madhhab oleh Muhammad B. Abdallah B Rashid al- Bakri al- Qafasi al- Maliki (wafat 685 H / 1285 M).
Al- Qawaid al- kubra fi Furu' al- Hanabila,oleh najm al- Din Sulaymanal- tufi (wafat 710H / 1310 M) .
Al- Asbah wan Nazair oleh Muhammad B. Umar al- shafi'I, lebih terkenal dengan Ibn Wakil (wafat 716 H / 1316 M).
Al- Qawaid oleh Abu Abdillah Muhammad B. Muhammad B. ahmad al-Maqqari al- Maliki (wafat 758 H / 1356 M).
Al- Majmu' al- Mudhhab fi Dabt Qawaid al- madhhab oleh Salah al- din Khalil B. Kaykaladi al- Shfi'I, lebih dikenal dengan al- ala'I (wafat 761 H/ 1359).
Al- Asbah wan Nazair fi Furu' al- fiqh al- Shafi'i, lebih dikenal dengan Al- Ala'i (wafat 761 H / 1359 M).
Al- Asbah wan Nazair adalah oleh Taj al- Din al- Subki (wafat 771 H / 1369 M).
Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al- Qawaid oleh Abu'I Faraj' Abd al-Rahman ibn Rajab al- Hanbali (wafat 790 H / 1387 M), juga direfer sebagai al- Qawaid fi' I Fiqh al- Islami.
Al- Manthur fi Tartib al- Qawaid Fiqhiyyah, oleh Badr al- Din Muhammad B. Abdallah al - Zarkashi (wafat 794 H / 1391 M).
Al- Qawaid fi' I fiqh oleh 'Abd Rahman ibn Rajab Al- Hanbali (wafat 795H / 1392 M).
Asma al- Maqasid fi Tahrir al- Qawaid oleh Muhammad B.Muhammad al- Zubayri (wafat 808 H / 1405 M).
Al- qawaid Manzumah oleh shihab al- Din Ahmad B. Muhammad al-Shafi'I, lebih dikenal sebagai ibn al- Ha'im (wafat 815 H / 1412 M).
Al- Qawaid oleh Taqi al- din Muhammad al- Husayni al- Hisni al-
shafi'I (wafat 829 H / 1421 M).
Nuzm al- Dakhair fi' I Ashbah wan Nazair oleh Al- Rahman B. Ali Maqdisi (wafat 876 H / 1471 M).
Al- Qawaid wa'I Dawabit oleh ibn Abd al- Hadi (wafat 880 H / 1475 M).
Al-Asbah wan Nazair oleh Taj al-Din al- Suyuti (wafat 911 H / 1505M).
Tidak ketinggalan dari ulama Sunni, Ulama Syiah juga telah membuat kitab kaidah - kaidah Fiqh. Karya pertama ulama Syiah tentang kaidah - kaidah Fiqh adalah Al-Qawaid ditulis oleh Allama al- Hilli (wafat 726 H), kemudian diikuti oleh al- shahid al- Awwal Jamaluddin al- Amilis (wafat 786 H) dengan Al- Qawaid wal Fawaid yang mengandung lebih dari 300 kaidah.

Syekh Mustafa Ahmad Zarka telah berkontribusi besar terhadap ilmu kaidah - kaidah fiqih. Beliau tidak hanya menerjemahkan Qawaid al- Majallah, tapi telah membuat edisi yang sangat berharga terhadap daftar Qawaid yang ada. Karya - karya seperti Muhammad Ibn Muhammad Nasib Hamza berjudul: " Al-Faraid al- Bahiyyah fi al- Qawaid wa al-Fawaid al- Fiqhiyyah", Muhammad Siddiq al- Burnu berjudul alwajiz fi Idah Qawaid al- Fiqhiyyah", dan kurdi "al- Qawaid al- Fiqhiyyah" adalah diantara beberapa karya - karya modern dalam bidang Qawaid Fiqhiyyah.

1 komentar: